A.
Latar Belakang
Kemajuan telah banyak mengubah pandangan tentang wanita, mulai dari
pandangan yang menyebutkan bahwa wanita hanya berhak mengurus rumah dan selalu
berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah mahkluk yang harus berada di luar
rumah, kemudian dengan adanya perkembangan zaman dan emansipasi menyebabkan
wanita memperoleh hak yang sama dengan laki-laki. Wanita telah ikut secara
aktif membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Hampir semua lapangan pekerjaan
dimasuki juga oleh wanita.
Timbul pertanyaan, apakah semua kegiatan? Pekerjaan itu dilakukan
dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka sebagai bakti
terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja kerna sebab lain, karena
keadaan memaksa. Biaya hidup berumah tangga tidak dapat tertanggulangi, boleh
jadi juga karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak dan
derajat antara laki-laki dan wanita.
Dengan begitu
diperlukan pembahasan mengenai kedudukan
wanita dalam pendangan islam, wanita sebagai ibu rumah tangga, wanita karir dan
kepemimpinan wanita dalam masyarakat dan negara.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
kepemimpinan ?
2. Pemimpin Wanita Dalam perspektif Islam ?
3. Wanita
Karir ?
4. Wanita Karir dalam Perspektif Islam ?
5. Syarat-
Syarat Wanita Bekerja ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kepemimpinan
Dalam bahasa Indonesia
“pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan,
pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya
Istilah pemimpin,
kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama
“pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu
lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum
tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah
Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan
tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa
dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.
Sedangkan istilah
Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan
dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Arti pemimpin adalah
seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/
kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan. [1]
Pemimpin jika dialih bahasakan ke bahasa Inggris menjadi “LEADER”, yang
mempunyai tugas untuk me-LEAD anggota disekitarnya. Sedangkan makna LEAD adalah
:
Loyality, seorang pemimpin harus mampu membagnkitkan loyalitas rekan
kerjanya dan memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
Educate, seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan
mewariskan tacit knowledge pada rekan-rekannya.
Advice, memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
Discipline, memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan
kedisiplinan dalam setiap aktivitasnya.
B. Pemimpin Wanita Dalam Perspektif Islam
Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi
dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau
bersabda :
عَنْ
أَبِي بَكْرَةَ قَالََ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ
فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمْ امْرَأَةً.
Artinya : Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi
Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, beliau
bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada
wanita”(HR. Bukhari)
Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum
yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan
keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari
kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita
tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan
konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih
terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi
perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut
pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari
kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup
yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan
kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah
wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang
wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita
dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita
diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan
keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang
lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat
menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau,
kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri
merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana
sabda yang beliau sampaikan :
خذوا شطر
دينكم من هذه الحميراء
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari
Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang
memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di
antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah
perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang
memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah
al-kubra).
C.
Wanita Karir
Karier dalam arti umum ialah pekerjaan yang
memberikan harapan untuk maju. Apakah ia menerima gaji atau penghargaan lain,
guna dinikmati oleh dirinya sendiri, keluargadan masyarakat asalkan pekerjaan
tersebut mendatangkan kemajuan. Seorang wanita karier berarti memiliki
pekerjaan khusus di luar rumah dalam rangka mengaktualisasikan diri dan
menekuni suatu bidang tertentu.Hanya yang kurang tepat, semua wanita yang
bekerja di kantor,lebih-lebih sebagai pegawai negeri yang cenderung disebut
wanita karier.Padahal sebetulnya tidak begitu, bekerja apa saja asal
mendatangkankemajuan dalam kehidupannya itulah karier.
Allah
Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda.
Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan
untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain.
Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu
menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan
bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui,
mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya
labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta
melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di dalam Al-Qur’an ,
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷yÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya;
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan
menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).
Ketika
dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60
hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi
harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang
menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati
makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh
karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang
tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di
dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya,
kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Bila si
wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung
jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah
(menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang
tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan
penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal
tersebut.
Selain
itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap
kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul
Mal kaum Muslimin.
D.
Wanita Karir dalam
Perspektif Islam
Bekerja
dan mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga.
Akan tetapi, Islam pada dasarnya tidak melarang wanita untuk bekerja.
Wanita
boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang
dilarang oleh syari’at.
Syaikh
Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan
bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya
untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29).
Perintah
ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.
E.
Syarat Wanita Bekerja
Meskipun
demikian, WAJIB diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, syarat
– syarat sebagai berikut :
1.
Bebas
dari hal-hal yang menyebabkan masalah, kemungkaran, membahayakan agama dan
kehormatan.
2. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban
utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan
wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang
wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
3. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib
mentaati suaminya.
4. Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga
pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan
suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.
5. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita,
seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.
6. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya.
Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah
wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
7. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan
di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di
kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah
yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau
keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan
keluarganya, atau suaminya sakit, dll.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut
Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta.
Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah
semestinya diperbolehkan.
Wanita boleh
bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang
dilarang oleh syari’at.yaitu : Bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah,
Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah,, Harus dengan izin suaminya, Menerapkan adab-adab islami,
Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, Tidak ada ikhtilat di lingkungan
kerjanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhdi Masjfuk, 1997,Masail fiqiyah, Jakarta : Toko Gunung
Jati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar