Minggu, 13 Mei 2012

pemimpin wanita dan karir dalam pandangan islam


A.    Latar Belakang
Kemajuan telah banyak mengubah pandangan tentang wanita, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa wanita hanya berhak mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah mahkluk yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan zaman dan emansipasi menyebabkan wanita memperoleh hak yang sama dengan laki-laki. Wanita telah ikut secara aktif membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki juga oleh wanita.
Timbul pertanyaan, apakah semua kegiatan? Pekerjaan itu dilakukan dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka sebagai bakti terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja kerna sebab lain, karena keadaan memaksa. Biaya hidup berumah tangga tidak dapat tertanggulangi, boleh jadi juga karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak dan derajat antara laki-laki dan wanita.
Dengan begitu diperlukan pembahasan mengenai kedudukan wanita dalam pendangan islam, wanita sebagai ibu rumah tangga, wanita karir dan kepemimpinan wanita dalam masyarakat dan negara.

B.     Rumusan Masalah   
1.      Pengertian kepemimpinan ?
2.      Pemimpin Wanita Dalam perspektif  Islam ?
3.      Wanita Karir ?
4.      Wanita  Karir dalam Perspektif Islam ?
5.      Syarat- Syarat Wanita Bekerja ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Kepemimpinan
Dalam bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama “pimpin”. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.
Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. [1]
Pemimpin jika dialih bahasakan ke bahasa Inggris menjadi “LEADER”, yang mempunyai tugas untuk me-LEAD anggota disekitarnya. Sedangkan makna LEAD adalah :
Loyality, seorang pemimpin harus mampu membagnkitkan loyalitas rekan kerjanya dan memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
Educate, seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan tacit knowledge pada rekan-rekannya.
Advice, memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
Discipline, memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan dalam setiap aktivitasnya.


B.     Pemimpin Wanita Dalam  Perspektif Islam

Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau bersabda :

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالََ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً.

Artinya : Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)

Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan :
خذوا شطر دينكم من هذه الحميراء

Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).




C.            Wanita Karir
Karier dalam arti umum ialah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Apakah ia menerima gaji atau penghargaan lain, guna dinikmati oleh dirinya sendiri, keluargadan masyarakat asalkan pekerjaan tersebut mendatangkan kemajuan. Seorang wanita karier berarti memiliki pekerjaan khusus di luar rumah dalam rangka mengaktualisasikan diri dan menekuni suatu bidang tertentu.Hanya yang kurang tepat, semua wanita yang bekerja di kantor,lebih-lebih sebagai pegawai negeri yang cenderung disebut wanita karier.Padahal sebetulnya tidak begitu, bekerja apa saja asal mendatangkankemajuan dalam kehidupannya itulah karier.

Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di dalam Al-Qur’an , 
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ  

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).

Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.


D.           Wanita  Karir  dalam Perspektif Islam
Bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Akan tetapi, Islam pada dasarnya tidak melarang wanita untuk bekerja. 
Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)

Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29).
Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.


E.      Syarat Wanita Bekerja
Meskipun demikian, WAJIB diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, syarat – syarat sebagai berikut :
1.      Bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah, kemungkaran, membahayakan agama dan kehormatan. 
2.      Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
3.      Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.
4.      Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.
5.      Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.
6.      Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
7.      Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.












BAB III

KESIMPULAN
Menurut Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
            Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.yaitu : Bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah, Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah,, Harus dengan izin suaminya, Menerapkan adab-adab islami, Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya.











DAFTAR PUSTAKA

Zuhdi Masjfuk, 1997,Masail fiqiyah, Jakarta : Toko Gunung Jati



[1] (Kartini Kartono, 1994 : 181).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar