PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai tugas menyipkan sumber daya
manusia untuk pembangunan. Derap langkah
pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman
selalu memunculkan tantangan-tantangan baru yang sebagiannya sering tidak dapat
diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis, pendidikan selalu dihadapkan
pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi dunia pendidikan itu
demikian luas. Oleh karena itu, perlu
adanya rumusan sebagai masalah-masalah pokok yang dapat dijadikanpegangan oleh
pendidik dalam mengemban tugasnya.
Pada makalah ini penulis akan mengkaji tentang permasalahan
pokok pendidikan dan saling kaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara
penanggulangannya.
B.
Latar
Belakang Masalah
1. Apa
yang menjadi permasalahan dalam pendidikan ?
2. Apa
jenis permasalahn pokok pendidikan ?
3. Apa faktor yang mempengaruhi perkembangan masalah
pendidikan ?
4. Bagaimana upaya penanggulangan permasalahan
pendidikan ?
C.
Tujuan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
akhlak. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan ilmu dan pengetahuan
tentang akhlak pada remaja dari segi islam bagi para pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Masalah
-Masalah dalam pendidikan
Yang
menjadi masalah dalam dunia pendidikan diantaranya adalah :
1.
Rendahnya Kualitas
Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052
lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas.
Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik,
299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya
lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan
ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang
tidak sama.
2.
Rendahnya Kualitas
Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di
berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru
itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta
guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas.
Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan
diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503
guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan
tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48%
berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang
pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat
pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain
yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah
lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih
sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak
70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk
menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen
(Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992),
studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV
SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD:
75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal
dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
5.
Kurangnya Pemerataan
Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal
Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM)
untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian
APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP
masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan
usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya
tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya Relevansi
Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%
dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, —
sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya
atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di
beberapa Perguruan Tinggi favorit.
B.
Jenis
Permasalahan Pokok dalam Pendidikan
a.
Masalah pemerataan pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana
sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu
menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang
pembangunan.
b.
Masalah mutu pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum
mencapai taraf seperti yang diharapkan. Masalah mutu pendidikan juga mencakup
masalah pemerataan pendidikan mutu.
c.
Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu
sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan
pendidikan. Jika pendayagunaan hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya
tinggi, jika terjadi sebaliknya, efisiensinya berarti rendah.
d.
Masalah relevansi pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem
pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan,
yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujun pendidikan
nasional.
C.
Faktor
– Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan masalah pendidikan
1. Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan iptek (
ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi
secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta dan teknologi adalah
penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat.
Hampir setiap inovasi mengundang masalah, masalahnya ialah
bagaimana cara memperkenalkan suatu inivasi agar orang menerimanya.
2. Laju Pertumbuhan Penduduk
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan
harus ditambah, dan itu berarti beban pembangunan nasional menjadi bertambah.
3. Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal
meningkat, khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi
terhadap pekerjaan kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap
pendidikan. Gejala yang ditimbulkan adalah banyaknya pelamar yang membanjiri
sekolah- sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota, disamping
pendidikan formal mulai bermunculan
beraneka ragam pendidikan nonformal.
Namun bukan berarti aspirasi dalam pendidikan harus diredam,
justru kebalikannya harus tetap dibangkitkan, utamanya pada masyarakat yang
belum maju dan di daerah terpencil, sebab aspirasi menjadi motor penggerak roda
kemajuan.
4. Keterbelakangan Budaya dan Sarana Kehidupan
Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang
terbelakang kebudayaannya tidak ikut berperan serta dalam pembangunan, sebab
mereka kurang memiliki dorongan untuk maju.
D.
Upaya
penanggulangan masalah pendidikan
Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan dalam pendidikan antara lain sebagai berikut :
1.
Penanggulangan
masalah pemerataan pendidikan
a.
Membangkitkan
kemauan belajar masyarakt yang kurang mampu agar menyekolahkananaknya
b.
Sistem guru
kunjung
c.
SD kecil pada
daerah terpencil
2.
Penanggulangan
masalah mutu pendidikan
a.
Pengembangan
kemampuan tenaga kependidikan
b.
Penyempurnaan
kuriulum
c.
Pengembangan
sarana dan prasarana
d.
Peningkatan
administrasi manajemen khususnya mengenai anggaran
e.
Kegiatan
pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan
3. Penanggulangan
masalah efisiensi pendidikan
Menesuaikan
pemrosesan pendidikan dengan rancangan dan tujuan yang ditulis dalam rancangan
4. Penanggulangan
masalah relevansi pendidikan
Menyesuaikan hasil
pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Yang
menjadi masalah dalam dunia pendidikan diantaranya adalah : Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik, Rendahnya Kualitas Guru,Rendahnya
Kesejahteraan Guru,Rendahnya Prestasi Siswa,Kurangnya Pemerataan Kesempatan
Pendidikan,Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan,Mahalnya Biaya
Pendidikan.
Jenis
Permasalahan Pokok dalam Pendidikan ialah Masalah pemerataan pendidikan,
Masalah mutu pendidikan, Masalah efisiensi pendidikan, Masalah relevansi
pendidikan
Faktor yang
mempengaruhi permasalahan pendidikan ialah Perkembangan
Iptek , Laju Pertumbuhan Penduduk,Keterbelakangan Budaya dan Sarana
Kehidupan,Aspirasi Masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Tirtarahardja,
umar ,la sulo, 2005, Pengantar Ilmu Pendidikan,
Jakarta : Rineka Cipta
Ahmadi,
abu, nur uhbiyati, 2001, Ilmu Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta